Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simeulue, agar membatalkan ambil alih lahan masyarakat yang bakal dijadikan perkebunan sawit. “Sebab, sebagian masyarakat di wilayah kepulauan itu, kini resah, setelah lahan atau areal pertanian yang mereka garap secara turun-temurun selama ini, dilaporkan akan diambil alih oleh pemerintah daerah setempat,” kata Kepala Divisi Penguatan Jaringan Walhi Aceh, M Nur, kepada Serambi, kemarin.
Menurut M Nur, ambil alih lahan itu akan diberikan ke Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) sebagai kawasan konvensi pengganti hutan lindung yang digarap menjadi kebun sawit. Sebelum pengambilan lahan warga, sebut M Nur, PDKS menggarap perkebunan kelapa sawit seluas 5.000 hektare. Kemudian, luas lahan itu bertambah dan ditargetkan menjadi 15 ribu hektare pada 2015.
Ironisnya, pembukaan kebun kelapa sawit itu, menggunakan kawasan hutan lindung, sehingga Kementerian Kehutanan memaksa perkebunan tersebut ditutup dan mencari lahan lain sebagai penggantinya. “Anehnya, PDKS mengusulkan lahan baru di Kecamatan Salang, Simeulue Tengah dan Teupah Barat seluas 6.646 hektare. Lahan yang diusulkan tersebut milik masyarakat,” jelas M Nur.
Ia menyebutkan, hasil investigasi Walhi ke Simeuelu beberapa waktu lalu, menemukan bahwa masyarakat telah diintimidasi agar menyerahkan lahan mereka. Tak hanya itu, Pemkab Simeulue dan PDKS, juga dilaporkan telah mematok tanah di lahan produksi, seperti areal persawahan dan perkebunan milik masyarakat.
“Pemasangan patok ini memancing keresahan. Masyarakat keberatan karena lahan tersebut milik mereka yang digarap secara turun-temurun. Hanya saja, tanah tersebut tidak memiliki dokumen sah dari pemerintah,” katanya.
Oleh karena itu, sebut M Nur, Walhi Aceh berharap alih fungsi lahan serta praktik intimidasi tersebut dihentikan, dan Pemerintah Simeulue segera mencari lokasi pengganti lain.
“Kalau pencaplokan lahan produktif ini terus berlanjut, dikhawatirkan ribuan kepala keluarga (KK) bakal kehilangan mata pencarian. Masalahnya, sawah dan kebun mereka diambil untuk kebun sawit,” jelas M Nur.
Terkait persoalan itu, masyarakat Simeulue, telah melayangkan surat protes atas penyerobotan tanah hak adat ke Menhut 20 Januari 2010. Selain itu, masyarakat juga melaporkan permasalahan tersebut ke Komnas HAM, sehingga HAM mengirimkan utusan melakukan mediasi atas kasus ini.
sumber : klikdisini
Menurut M Nur, ambil alih lahan itu akan diberikan ke Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) sebagai kawasan konvensi pengganti hutan lindung yang digarap menjadi kebun sawit. Sebelum pengambilan lahan warga, sebut M Nur, PDKS menggarap perkebunan kelapa sawit seluas 5.000 hektare. Kemudian, luas lahan itu bertambah dan ditargetkan menjadi 15 ribu hektare pada 2015.
Ironisnya, pembukaan kebun kelapa sawit itu, menggunakan kawasan hutan lindung, sehingga Kementerian Kehutanan memaksa perkebunan tersebut ditutup dan mencari lahan lain sebagai penggantinya. “Anehnya, PDKS mengusulkan lahan baru di Kecamatan Salang, Simeulue Tengah dan Teupah Barat seluas 6.646 hektare. Lahan yang diusulkan tersebut milik masyarakat,” jelas M Nur.
Ia menyebutkan, hasil investigasi Walhi ke Simeuelu beberapa waktu lalu, menemukan bahwa masyarakat telah diintimidasi agar menyerahkan lahan mereka. Tak hanya itu, Pemkab Simeulue dan PDKS, juga dilaporkan telah mematok tanah di lahan produksi, seperti areal persawahan dan perkebunan milik masyarakat.
“Pemasangan patok ini memancing keresahan. Masyarakat keberatan karena lahan tersebut milik mereka yang digarap secara turun-temurun. Hanya saja, tanah tersebut tidak memiliki dokumen sah dari pemerintah,” katanya.
Oleh karena itu, sebut M Nur, Walhi Aceh berharap alih fungsi lahan serta praktik intimidasi tersebut dihentikan, dan Pemerintah Simeulue segera mencari lokasi pengganti lain.
“Kalau pencaplokan lahan produktif ini terus berlanjut, dikhawatirkan ribuan kepala keluarga (KK) bakal kehilangan mata pencarian. Masalahnya, sawah dan kebun mereka diambil untuk kebun sawit,” jelas M Nur.
Terkait persoalan itu, masyarakat Simeulue, telah melayangkan surat protes atas penyerobotan tanah hak adat ke Menhut 20 Januari 2010. Selain itu, masyarakat juga melaporkan permasalahan tersebut ke Komnas HAM, sehingga HAM mengirimkan utusan melakukan mediasi atas kasus ini.
sumber : klikdisini
0 komentar:
Post a Comment
Setiap komentar anda sangat berarti untuk de'o (baca: saya)kritik dan saran ditunggu ya..
Reaksi anda terhadap artikel de'o jangan lupa ya